STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DI SUNGAI PANGI DAN RAWA LEBAK MENGGUNAKAN ALAT TANGKAT YANG BERBEDA DI KECAMATAN RANTAU BAYUR KABUPATEEN BANYUASIN SUMSEL
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Provinsi
Sumatera Selatan mempunyai luas perairan umum sebesar 2,5 juta hektar. Bagian utama perairan
umum Sumatera Selatan adalah Sungai Musi dengan sumber air berasal dari
pegunungan Bukit Barisan dan Danau Ranau yang kemudian mengalir kearah timur melewati Kota
Palembang, selanjutnya
bermuara di Selat Bangka. Daerah Aliran Sungai (DAS), Sungai Musi mencakup
luasan 60.000 km², membentuk sejumlah anak sungai yang besar meliputi Sungai
Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Batanghari Leko, Sungai Rawas,
Sungai Lakitan, dan Sungai Kelingi beserta ratusan anak sungai lainnya (Gaffar,
2003).
Selain itu, Sumatera Selatan juga merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang memiliki kawasan rawa yang luas. Wilayah Kabupaten Banyuasin memiliki wilayah perairan umum dengan potensi sumber daya ikan yang
prospektif. Daerah ini kaya akan hasil ikan dan memiliki tipe perairan
yang banyak, luas di kabupaten Banyuasin sekitar 60% wilayahnya berupa rawa, payau, lebak dan sungai yang
berpotensi besar sebagai produsen ikan air tawar.
Menurut Poerwardaminto (1976), rawa
lebak adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus menerus atau
musiman akibat draenase yang terhambat serta merupakan lahan rendah yang
memiliki kepekaan tergenang air yang berasal dari curah hujan atau luapan
banjir sungai. Rawa lebak merupakan sebutan untuk rawa yang dimanfaatkan atau
dibudidayakan untuk mengembangkan pertanian, perikanan dan peternakan. Ekosistem rawa lebak yang umumnya berair asam
dan dengan kandungan oksigen yang rendah ini hanya dapat di diami oleh organisme
yang tahan terhadap keasaman tinggi saja. Rawa lebak biasanya mempunyai lahan
genangan air hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi
genangan 50 cm.
Sungai
adalah perairan mengalir yang sumber airnya berasal dari air hujan atau air
tanah dan mempunyai karakteristik yang ditentukan dari geologi, tofografi,
jenis tanah dan batas air dengan dataran serta merupakan tempat terjadinya
erosi, transportasi, dan deposit dari material bumi yang terlarut dan
tersuspensi yang pada akhirnya bermuara di laut atau perairan terbuka lainnya
(Makmur, 2001).
Menurut
Lagler (1962) ikan merupakan vertebrata air karena
telah memiliki tulang belakang dan dimasukkan ke dalam filum Chordata. Ikan juga
didefenisikan sebagai hewan vertebrata
yang berdarah dingin,
hidup dalam lingkungan air, pergerakan dan keseimbangan badannya
menggunakan sirip dan bernafas dengan
insang. Secara garis besar ikan terbagi atas
3 kelas yaitu Agnatha (Ikan yang tidak
memiliki rahang), Chondrichthyes (ikan bertulang rawan), dan
Osteichthyes (ikan bertulang keras). Osteichthyes merupakan
kelas dari vertebrata yang paling
kaya akan jumlah spesies.
Ikan sebagai
hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki hewan
darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan
dengan kondisi lingkungannya, misalnya sebagai hewan yang hidup di air, baik
itu diperairan tawar maupun perairan laut menyebabkan ikan harus dapat
mengetahui kekuatan maupun arah arus, karena ikan dilengkapi dengan organ yang
disebut linea lateralis (Fujaya, 2004).
Penelitian
tentang struktur komunitas dan komposisi jenis ikan, di perairan Sungai Pangi
dan rawa lebak Perasinan menggunakan alat tangkap yang berbeda, dengan tujuan
untuk mengetahui spesies ikan yang dominan dari beberapa jenis ikan yang
memiliki nilai struktur komunitas ikan yang cukup besar antara perairan sungai
dan perairan rawa. Namun apabila pencemaran
air terjadi dapat mengubah struktur komunitas ikan secara langsung, yang
memungkinkan terjadi perubahan kualitas perairan dan juga dilakukannya
penangkapan ikan secara terus-menerus. Karena itu dilakukan penelitian untuk
mengetahui keragaman jenis-jenis ikan yang terdapat di Sungai Pangi dan Rawa
Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.
1.2.
Rumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
struktur komunitas dan keragaman jenis ikan di sungai pangi dan rawa lebak
perasinan menggunakan alat yang berbeda di Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan?
1.3. Batasan Masalah
Pengamatan dalam penelitian ini dibatasi dengan alat tangkap yang berbeda
antara Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Dilanjutkan perhitungan individu masing-masing
untuk mengetahui hubungan panjang berat, indeks kelimpahan, dan kelimpahan
relatif.
1.4.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui struktur
komunitas dan komposisi jenis ikan menggunakan alat tangkap yang berbeda di
Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
1.5.
Manfaat Penelitian
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan infomasi tentang struktur komunitas dan komposisi jenis ikan menggunakan
alat tangkap yang berbeda di Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan
Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Gambaran
Umum Perairan Umum
2.1.1. Sungai
Sungai
adalah perairan mengalir yang sumber airnya berasal dari air hujan atau air
tanah dan mempunyai karakteristik yang ditentukan dari geologi, tofografi,
jenis tanah dan batas air dengan dataran serta merupakan tempat terjadinya
erosi, transportasi, dan deposit dari material bumi yang terlarut dan
tersuspensi yang pada akhirnya bermuara di laut atau perairan terbuka lainnya
(Makmur, 2001).
Menurut Odum (1971), Sungai merupakan
salah satu contoh dari perairan mengalir. Sungai dicirikan dengan adanya arus
yang searah serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Pada
perairan sungai biasanya terjadi pencampuran massa air secara menyeluruh.
Pembagian zona sungai terdiri dari dua bagian, yaitu berdasarkan gradien dan
aliran air. Sungai yang berdasarkan gradien antara lain daerah hulu dengan ciri
daerah yang sempit dan berjenjang, terdapat pada dataran tinggi, kepadatan
organisme yang rendah dan substrat dasar berupa bebatuan, dan daerah hilir dengan ciri daerah yang lebar,
pada dataran rendah, arus relatif lambat, kadar oksigen rendah, dan substrat
dasar berupa lumpur, pasir, dan kerikil.
Sungai
sebagai habitat perikanan akan mengalami perubahan sebagai hasil interaksi
proses alami dan aktivitas manusia terutama dalam penggunaan tata guna tanah
dan air. Pengembangan dan perbaikan kegiatan perikanan sangat tergantung dari
pengetahuan secara menyeluruh tentang keadaan populasi ikan dan reaksinya
terhadap lingkungan (Linfield,1985 dalam
Gaffar dan Utomo,1991).
Sungai
Pangi merupakan anak Sungai Musi yang menjadi daerah
penangkapan ikan yang
sumber mata pencaharian sebagai nelayan, karena sebagian besar masyarakat Kecamatan Rantau Bayur
pemukiman rumahnya berdekatan dengan sungai. Sungai ini merupakan Sungai Musi
namun penduduk sekitar sering menyebutnya dengan Sungai Pangi. Sungai
ini juga merupakan jalur transportasi dari desa ke desa, bahkan ke Kota
Palembang. Pencarian ikan
yang dilakukan oleh penduduk,
karena kebanyakan tempat tinggal atau pemukiman masyarakat
yang berada di pinggiran sungai seperti Desa Tebing Abang serta Desa Lubuk Rengas. Penangkapan ikan
di anak sungai ini dilakukan dengan menggunakan jala, rawai, jaring, bubu, tangkul dan pancing.
Lebar Sungai mencapai 300-400 m. Sedangkan panjang
Sungai Pangi mencapai 7 Km. Sungai Pangi memiliki spesies ikan
yang masih ditemui antara lain : Ikan Baung, Lais, Lampam, Gabus, Tapa, Sapil, Sepat Laut,
Lambak, Juaro, Patin dan banyak lagi lainnya.
2.1.2. Rawa
Rawa merupakan istilah yang digunakan untuk
semua lahan basah yang senantiasa memiliki kepekaan tergenang air, baik pada
kurun waktu tertentu maupun sepanjang tahun, bervegetasi, baik yang berair
tawar, asin maupun payau, berhutan maupun ditumbuhi tanaman semak. Berdasarkan
sumber airnya, ekosistem rawa di Indonesia dapat dibedakan menjadi rawa pasang
surut dan rawa non pasang surut. Rawa pasang surut meliputi rawa-rawa pesisir
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan rawa non pasang surut meliputi
rawa-rawa pedalaman yang tidak dipengaruhi pasang surut air laut. Berdasarkan
vegetasinya, rawa dapat dibedakan menjadi rawa berhutan dan rawa tak berhutan,
atau bahkan berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, misalnya rawa bakau, rawa
nipah dan rawa rumput (Kordi, 2008).
Kata lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang berarti lembah atau tanah rendah (Poerwadarminto, 1976).
Rawa lebak adalah wilayah daratan
yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan
dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan atau
dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan
disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau
dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan jika kedudukannya menjorok jauh dari muara
laut/sungai besar disebut rawa pedalaman.
Menurut Noor (2007), lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan
atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua buah sungai besar di
dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya
dipengaruhi pasang surut air laut harian, lebak tergenang selama musim hujan dan
berangsurangsur kering pada musim kemarau. Ada tiga jenis lebak berdasarkan
tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, yaitu wilayah yang
mempunyai tinggi genangan 25 - 50 cm dengan
lama genangan minimal 3
bulan dalam setahun; lebak tengahan, yaitu wilayah yang tinggi
genangannya antara 50-100 cm dengan
lama genangan selama 3-6 bulan dalam setahun; dan lebak dalam, yaitu mempunyai tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm dengan lama genangan selama lebih dari 6 bulan. Kawasan lebak dalam
yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah Lebak Lebung.
Rawa lebak termasuk wilayah yang selalu basah atau
tergenang. Berbagai kesulitan ditemukan dalam memberikan batasan rawa lebak
atau lebih luas dalam konteks lahan basah karena keragaman lingkungannya yang
luas dan saling berbeda antara ekologi maupun pemanfaatannya. Pembagian atau
klasifikasi rawa lebak atau lahan basah akhirnya sangat tergantung pada
kepentingan apakah untuk tujuan ekologi atau komersil dalam arti pengelolaan
sumber daya alam. Tujuan ekologi cenderung untuk menetapkan berdasarkan kondisi
alami dan perlu dipertahankan, tetapi para pengembang menginginkan bahwa
potensi sumber daya alam ini perlu dieksploitasi sehingga memberikan nilai tambah
(secara ekonomi). Klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam arti
luas dapat didasarkan pada ketinggian genangan, waktu genangan, jenis ekologi,
vegetasi, bentuk wilayah dan jenis pemanfaatan. Perikanan di lahan rawa lebak
ini umumnya masih dilakukan dengan sistem tangkap dengan menggunakan alat
tangkap sederhana seperti kail,
lunta/jala, ancau dan sistem perangkap seperti beje. Upaya pemeliharaan sistem keramba atau kolam juga mempunyai
prospek karena keuntungan yang diperoleh cukup tinggi, khususnya jenis-jenis
ikan hitam seperti toman, gabus, dan papuyu (Noor, 2007).
Perairan rawa lebak perasinan merupakan rawa
lebak yang terdapat di Kabupaten Banyuasin yang memiliki potensi perikanan yang cukup
tinggi. Lahan rawa lebak ini sering dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk
menunjang kehidupan. Pada musim hujan genangan air mencapai 4-7 meter, tetapi
pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah
paling bawah. Rawa Lebak Perasinan merupakan salah satu daerah perairan di Kecamatan
Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Provinsi
Sumatera Selatan.
2.2.
Biologi Ikan
Pisces adalah sebutan umum yang dipakai untuk ikan atau sebagai nama kelas.
Bermacam-macam spesies hidup dalam air
tawar atau bergaram (air laut).
Pengenalan struktur ikan tidak terlepas dari morfologi ikan yaitu bentuk luar
ikan yang merupakan ciri-ciri yang mudah dilihat dan diingat dalam mempelajari jenis-jenis ikan. Morfologi
ikan sangat berhubungan dengan habitat ikan tersebut di perairan (Gumono,
2001).
Secara umum
tubuh ikan terbagi atas 3 bagian yang utama, yaitu kepala (caput), badan
(truncus), dan ekor (caudal). Bagian-bagian tubuh
ikan dilihat dari
pengenalan struktur ikan tidak terlepas dari morfologi ikan yaitu bentuk luar
ikan. Sirip-sirip pada ikan umumnya
ada yang berpasangan dan ada yang tidak.
Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur disebut sirip tunggal atau sirip
tidak berpasangan. Macam-macam sirip ekor dapat dibedakan berdasarkan bentuk sirip tersebut. Bentuk sirip ekor ikan
ada yang simetris, apabila lembar sirip ekor bagian dorsal sama besar dan sama bentuk dengan lembar bagian ventral, ada pula bentuk sirip ekor yang
asimetris yaitu bentuk kebalikannya (Kottelat
et al.,1993).
Setiap ikan
untuk dapat hidup dengan baik dan mampu berkembang biak harus memiliki
kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya. Dalam hal adaptasi ini, ikan
memiliki banyak cara untuk
dapat mempertahankan diri serta mendapatkan makanan. Bentuk tubuh serta
alat-alat tubuh untuk setiap jenis ikan berbeda. Hal ini disesuaikan dengan
cara hidup ikan tersebut didalam lingkungannya. Penyesuaian diri tersebut
dimaksudkan untuk mendapatkan makanan dan menyelamatkan diri dari hewan-hewan
predator, serta menyesuaikan diri dengan kondisi perairannya, seperti kadar
garam, kecerahan, kedalaman, suhu, intensitas cahaya, kondisi cuaca, arus, dan
struktur tanah (Subani, 1968).
Selain sirip, bagian anggota badan yang lain adalah
sisik. Bentuk, ukuran dan jumlah sisik
ikan dapat memberikan gambaran bagaimana kehidupan ikan tersebut. Sisik ikan mempunyai bentuk dan ukuran yang
beraneka macam, yaitu sisik ganoid merupakan sisik besar dan kasar,
sisik cycloid dan ctenoid merupakan sisik yang kecil, tipis atau
ringan dan sisik placoid merupakan sisik yang lembut. Umumnya tipe ikan
perenang cepat atau secara terus menerus bergerak pada perairan berarus deras
mempunyai tipe sisik yang lembut, sedangkan ikan-ikan yang hidup di perairan
yang tenang dan tidak berenang secara terus menerus pada kecepatan tinggi
umumnya mempunyai tipe sisik yang kasar. Sisik sycloid berbentuk bulat,
pinggiran sisik halus dan rata sementara sisik ctenoid mempunyai bentuk seperti
cycloid tetapi mempunyai pinggiran yang kasar (Kottelat
et al., 1993).
2.3.
Hubungan Panjang Berat
Dalam biologi perikanan, hubungan
panjang-berat ikan merupakan
salah satu informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan
sumber daya perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar
ikan-ikan yang tertangkap
hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul & Hongskul dalam
Merta, 1993). Pengukuran panjang–berat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi
berat dan panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok
individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan
kondisi fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang–berat
juga dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan
salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi atau
keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu (Everhart &
Youngs, 1981).
Menurut Effendie (1995), Hubungan
panjang berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai
pangkat tiga dari panjangnya. Hal ini disertai dengan anggapan bahwa bentuk dan
berat ikan tersebut tetap selama hidupnya. Namun pada kenyataannya hubungan
yang terdapat pada ikan tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda.
Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakukan analisis hubungan
panjang berat ikan tersebut. Hubungan ini juga dapat menerangkan pertumbuhan
ikan, dan perubahan lingkungan. Selanjutnya dapat diketahui bentuk tubuh ikan
tersebut gemuk atau kurus.
Hubungan panjang berat
sangat penting untuk pendugaan perikanan. Pengukuran panjang berat berhubungan
dengan data umur untuk memberikan informasi tentang komposisi stok, umur
matang, gonad, mortalitas, siklus hidup, pertumbuhan dan reproduksi (Fafioye
& Oluajo, 2005).
Pengukuran panjang berat
ikan di dalam penelitian biologi perikanan hendaknya mengikuti suatu ketentuan
yang lazim digunakan. Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem
metrik atau sistem lainnya, tetapi sistem metrik sangat dianjurkan untuk
dipakainya karena Indonesia sudah biasa mengenal sistem itu juga, negara-negara
yang dahulunya menggunakan sistem Inggris atau sistem lainnya sejak beberapa
tahun yang lalu mereka sudah mulai menggunakan sistem metrik (Effendie, 1979).
2.4. Komposisi Spesies
Menurut Brower et
al.
(1990)
dalam
Latuconsina et
al. (2012), Keanekaragaman jenis adalah suatu ekspresi
dari struktur komunitas, dimana suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman jenis tinggi, jika proporsi antar jenis secara keseluruhan sama
banyak atau hampir sama banyak.
Sehingga jika ada beberapa jenis dalam komunitas yang memiliki dominansi yang
besar maka keanekaragamannya dan keseragamannya rendah. Ukurannya pada nilai indeks keanekaragaman (H), indeks
keseragaman (E) dan indeks dominasi (C). Indeks keanekaragaman adalah ukuran
kekayaan spesies dilihat dari jumlah spesies dalam suatu komunitas dan
kelimpahan relatif (jumlah individu tiap spesies).
Keanekaragaman
spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas
tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam suatu komunitas itu sangat
tinggi. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi
jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan
memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh
sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan
(Indriyanto, 2006).
Indeks
keseragaman adalah ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas.
Semakin merata penyebaran individu/proporsi antar spesies, maka keseimbangan
komunitas akan makin meningkat. Menurur Odum (1983) dalam Latuconsina
(2012), Indeks keanekaragaman adalah nilai yang dapat
menunjukkan keseimbangan keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu
tiap spesies. Sedikit atau banyaknya keanekaragaman spesies ikan dapat dilihat
dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Indeks keanekaragaman mempunyai nilai
terbesar jika semua individu berasal dari spesies yang berbeda-beda. Sedangkan
nilai terkecil didapat jika semua individu berasal dari satu spesies saja.
Menurut Goldman
(1983), struktur komunitas mempunyai lima karateristik yaitu
keanekaragaman, dominansi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif,
dan struktur trofik. Beberapa populasi spesies yang cenderung untuk hidup
bersama di berbagai daerah geografis membentuk suatu komunitas ekologi. Spesies
yang jumlahnya berlimpah tersebut disebut dominan dan biasanya dipakai sebagai
ciri khas suatu komunitas (Nybakken, 1988). Hilangnya spesies-spesies yang
dominan akan menimbulkan perubahan-perubahan penting yang tidak hanya pada
komunitas biotiknya sendiri tetapi juga dalam lingkungan fisiknya (Odum, 1971).
2.5. Parameter Kualitas
air
Pengukuran
kualitas perairan dilakukan bersamaan
dengan penangkapan ikan. Parameter yang diukur pada kualitas perairan Sungai Pangi dan Rawa Lebak
Perasinan yaitu
suhu dan derajat keasaman (pH). Menurut Suin (2002) dalam Silalahi (2009), faktor lingkungan abiotik secara garis
besarnya dibagi atas faktor iklim, faktor fisika dan faktor kimia. Faktor
fisika di air antara lain adalah temperature, cahaya, kecerahan, arus dan suhu.
Faktor kimia di air antara lain kadar oksigen terlarut, pH, alkalinitas,
kesadahan, BOD, COD, unsur-unsur dan zat organik terlarut, sedangkan faktor
lingkungan biotik bagi organisme adalah organisme lain yang juga terdapat
dihabitatnya. Nybakken (1988), menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan penyebaran organisme.
pH juga sangat berperan penting bagi parameter kualitas air karena ia
mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air.
Menurut
Allan (1995), suhu air sungai dipengaruhi oleh variasi musim, iklim, elevasi
dan vegetasi di sepanjang aliran sungai dan masukan air tanah. Fluktuasi suhu
air sungai kecil lebih tinggi dibandingkan sungai besar. Suhu air sungai kecil
pada siang hari lebih tinggi ± 15°C dibandingkan malam hari ± 5°C. Hal ini
dipengaruhi absorbsi sinar matahari, kecepatan arus, kedalaman air dan
kemiringan tempat. Perubahan suhu akan mempengaruhi distribusi, metabolisme,
nafsu makan, reproduksi organisme perairan serta berpengaruh langsung terhadap
proses fotosintesis fitoplankton, ikan dan tanaman air. Tingkah laku suatu
organisme perairan, struktur dan komposisi komunitas air sungai ditentukan oleh
suhu.
Menurut Kordi
(2008) bahwa kisaran suhu
optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis adalah antara 28⁰C
- 32⁰C.
Dimana suhu perairan mempengaruhi aktivitas metabolisme ikan dan sangat
berkaitan erat dengan oksigen terlarut dan konsumsi oksigen oleh ikan. pH air mempengaruhi
tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan
yang asam akan kurang produktif karena kandungan oksigen terlarutnya rendah,
yang berakibat aktivitas pernafasan ikan meningkat dan nafsu makan menurun.
pH adalah tingkatan yang menunjukkan asam/basanya suatu
larutan yang diukur pada skala 00 sampai dengan 14. Sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH 7 - 8,5. Nilai pH
sangat memperanguhi nilai proses biokimia perairan misalnya proses nitrifikasi
akan berakhir jika pH rendah.. Sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak
dapat bertoleransi terhadap pH rendah (Haslam 1995 dalam Effendi 2003).
Bebarapa
parameter kualitas air yang dapat menjadi faktor pembatas bagi ikan diperairan rawa antara lain suhu, oksigen
terlarut dan keasaman. Rawa pada umumnya
dikarakteristikkan dengan melimpahnya pertumbuhan vegetasi air dan
diasosiasikan dengan perombakan material organik. Dekomposisi ini mengakibatkan
kondisi oksigen yang rendah dan bersifat asam. Pada ekosistem perairan, oksigen
terlarut merupakan faktor pembatas terpenting bagi organisme (Bayly &
Williams, 1981).
Suhu
suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari. Sirkulasi udara, penutupan awan, dan
aliran, serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika,
kimia dan biologi badan air. Suhu juga mempengaruhi aktivitas metabolis
organisme. Oleh karena itu, penyebaran organisme baik rawa, dilautan maupun perairan tawar dibatasi oleh
suhu perairan tersebut. Dengan kata lain suhu berperan mengendalikan kondisi
ekosistem perairan. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan
biota air. Kebutuhan ikan terhadap oksigen akan meningkat dengan meningkatnya
suhu perairan. Toleransi ikan terhadap kadar oksigen terlarut minimum
tergantung pada jenis ikan, ukuran, kondisi fisiologi dan konsentrasi zat lain
yang terlarut (Kordi, 2009).
Kualitas
air dikawasan rawa lebak dipengaruhi oleh sifat internal dan eksternal. Sifat internal
yang mempengaruhi antara lain, (1) karakteristik hidrologi, (2) sumber daya
hayati (gulma dan tumbuhan air lainnya), (3) sifat kimia serta kesuburan
tanahnya. Sifat eksternal yang mempengaruhi antara lain, (1) lingkungan fisik
dibagian hulu dan setempat, dan (2) kegiatan manusia dalam pemanfaatan dan
pengelolaanya. Perubahan musim sering diikuti perubahan kualitas air yang dapat
mematikan sebagian ikan diperairan rawa yang terjadi menjelang musim hujan.
Kekeruhan juga memberikan pengaruh secara signifikan terhadap produksi terutama
ikan dan biota air (Noor, 2007).
Menurut
Effendie (2003) dalam Silalahi
(2009), Derajat keasaman (pH) merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion
hidrogen dalam perairan. Secara umum
nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebebasan suatu
perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatan kondisi
perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatan kondisi perairan bersifat
basa.
Nilai
pH menyatakan nilai konsentrasi ion Hidrogen dalam suatu larutan. Dalam air
yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan H- berada dalam
keseimbangan sehingga air yang bersih akan bereaksi netral. Organisme akuatik
dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran
toleransi antara asam lemah dengan basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organism
akuatik umumnya berkisar antara 7 – 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat
asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan
menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik (Barus,
1996).
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu
Dan Tempat
Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013, berlokasi di perairan
Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, dan di
Laboratorium Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
PGRI Palembang.
3.2. Alat Dan Bahan
Alat-alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pancing, tangkul, jala, jaring, bubu, rawai,
dan perahu yang dipakai nelayan untuk menangkap
ikan, cool box sebagai tempat penyimpanan sampel, alat tulis/data sheet,
ember, mistar, bak farafin, lup, camera, masker, dissetting set, jangka sorong, timbangan digital dan
kunci identifikasi ikan menurut Kottelat et
al. (1993). Sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah ikan
dan larutan formalin 10%.
3.3.
Metode Penelitian
Dalam
penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel
dilakukan dengan :
a) Mengikuti
nelayan yang sedang menangkap ikan di sepanjang aliran Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan.
b) Membeli
ikan dari hasil tangkapan nelayan
3.4. Cara Kerja
Tahapan
pengambilan sampel adalah sebagai berikut :
1. Pengambilan ikan dilakukan dengan
mengikuti nelayan yang sedang menangkap ikan
atau membeli ikan dari hasil tangkapan nelayan pada perairan Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan.
2. Parameter fisika dan kimia air diamati pada waktu yang
bersamaan pengambilan sample ikan yang
meliputi suhu dan pH. Derajat keasaman air diukur dengan menggunakan pH meter portable.
Suhu air diukur dengan menggunakan thermometer digital.
3. Sampel
ikan yang ditangkap diukur panjang total menggunakan
penggaris dengan ketelitian 1 mm dan berat ikan menggunakan timbangan digital
dengan ketelitian 0,01 gr masing-masing
jenis ikan dari alat tangkap yang berbeda.
4. Diambil 5 (lima) jenis ikan yang dominan tertangkap dari
masing-masing alat tangkap berbeda minimal 5-10 ekor dari tiap
jenis ikan dan dicatat nama lokalnya.
5. Pengambilan
sampel ikan dilakukan tiga kali
dalam satu minggu.
6. Sebelum
sampel diidentifikasi, sampel difoto, dan kemudian dimasukkan kedalam cool box
yang telah di isi larutan formalin 10 %.
7. Sampel ikan dibawa ke laboratorium untuk diamati dan
diidentifikasi di Laboratorium
dengan
menggunakan kunci determinasi. Ikan-ikan
yang diperoleh selama pengamatan diidentifikasi berdasarkan morfologi, yaitu
diukur panjang total, panjang standar,
tinggi badan, tinggi batang caudal, panjang batang caudal, panjang dari mulut
ke pangkal sirip dorsal, panjang dasar sirip dorsal, panjang dasar sirip anal,
tinggi sirip dorsal, tinggi sirip anal, panjang sirip pectoral, panjang sirip
ventral, panjang duri sirip dorsal yang paling panjang, panjang kepala, lebar
kepala, jarak dari lubang hidung ke mulut, jarak dari sudut bibir ke mata,
diameter mata, panjang rahang atas, lebar bukaan mulut, panjang sirip lemak,
jumlah sirip dorsal yang keras, jumlah sirip dorsal yang lemah, jumlah sirip
anal yang keras, jumlah sirip anal yang lemah, jumlah sirip pectoral, jumlah
sirip ventral, jumlah sisik pada linea lateralis, jumlah sisik dari sirip
dorsal sampai linea lateralis, jumlah sisik dari sirip anal sampai linea
lateralis, jumlah sisik sebelum sirip dorsal, jumlah sisik pada batang caudal.
8. Setelah
dilakukan pengukuran morfometrik dan meristik, kemudian dilakukan pada tahap
selanjutnya yaitu identifikasi ikan menggunakan buku panduan identifikasi
menurut Kottelat et. al (1993).
9. Setelah
didapatkan hasil identifikasi ikan tersebut, dicatat sehingga akan diketahui
nama lain atau spesies dari ikan tersebut.
3.5. Analisis Data
1. Hubungan
Panjang Berat
Hubungan panjang berat dihitung
dengan menggunakan persamaan Rhiker dalam
Fafioye dan Oluajo (2005):
W= aLb
Keterangan :
W : Berat ikan (g)
L : Panjang total ikan (cm)
a dan b : Konstanta
Nilai
a dan b adalah konstanta yang dihitung dari transformasi data kedalam persamaan
regresi linier dengan menarik logaritma seperti :
Ln
W = Ln a + b Ln L
2.
Kelimpahan Relatif
Komposisi jenis ikan dilihat dari hasil identifikasi
menurut Kottelat et al., yaitu
menentukan jenis ikan apa saja yang ditangkap diperairan tersebut sedangkan
kelimpahan relatif dihitung sebagai berikut :
B =
x 100%
Keeterangan :
B = kelimpahan relatif ikan yang tertangkap
ni = jumlah total individu spesies-i
N = jumlah total individu semua spesies yang tertangkap
DAFTAR
PUSTAKA
Allan, JD. 1995. Stream Ecology: Structure and Function of Running
Waters. Chapman and Hall. London. Hal. 12-281.
Barus. T.A.
2001.Pengantar Limnologi Studi tentang
Ekosistem Sungai dan Danau. Program Studi USU FMIPA. Medan. Hlm 5-8.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanius.
Yogyakarta.
Effendie. 1995.
Biologi perikanan.Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
EVERHART, W.H and W.D. YOUNGS
1981. Principles of fishery science. 2ndEdition Comstock Publishing
Associates, a division of Cornell University Press. Ithaca and London : 349 pp.
Fafioye & Oluajo. 2005.
Length-wight Relationships of five fish species in Epe lagoon. Nigeria. African
Journal of Biotechnology Vol 4 (7) : 749-751.
Fujaya. 2004. Fisiologi ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta.
Gaffar,A.K.
2003.Pelestarian dan Pengembangan
Perikanan Perairan Umum Sumatera
Selatan . Makalah
disampaikan dalam Seminar Kelautan dan Prospek Perairan Umum Sumatera Selatan
tanggal 17 September 2003,Palembang.
Gomono. 2001. Biologi.
Pabelan. Surakarta.
Goldman,
C. R. and A. J. Horne. 1983. Limnology. Me Graw Hill Book Company. New
York.464p.
Indrianto. 2006. Ekologi
Hutan Rawa. Buku Kesatu. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Poerwadarminto, W.J.S. !976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Kordi. K. 2008. Budi
Daya Perikanan. Buku Kesatu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Kordi. K. 2009. Budi
Daya Perikanan. Buku Kedua. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Kottelat,
M,A.J.Wittern, S.N.Kartika Sari,S.Wirjoatmodjo. 1993. Fresh Water Fishes Of Indonesiia and Sulawesi. Periplus Plus ed
Limited. Indonesia.
Lagler,K.F,J.E.Bardah
dan R.R.Mild. 1962. Ichthyology. John
Wiley and Sons, Inc. Neew york.
Makmur,
S. 2004. Tinjauan Beberapa Jenis Ikan
Bernilai Ekonomis di Sungai Musi Sumatera Selatan. Kumpulan Publikasi Ilmiah 2004. Balai Riset Perikanan
Perairan Umum Mariana. Palembang.
Merta, I.G.S. 1993. Hubungan panjang – berat
dan faktor kondisi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan
Selat Bali. Jurnal Penelitian Perairan Laut, 73 : 35 - 44.
Noor.
2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan
Pengembangannya. Edisi Pertama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Nybakken, J. N. 1988.
Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh M. Eidman,
Koesoebiono dan D. G. Bengen. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. 459 hal.
Odum,
E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Thirth Edition. W.B. Saunders Co.
Philadelphia and London. 546 p.
Silalahi. 2009. Ananlisis
Kualitas Air dan Hubungannya deengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di
Perairan Balige Danau Toba. Tesis (sudah terpublikasi). Medan. Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Subani,W.
1978. Alatdan Cara Tangkap Ikan di
Indonesia. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta.