BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis)
adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri,
maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya
menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama
dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil minyak
kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia
penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatra,
Jawa, dan Sulawesi. Kelapa sawit berbentuk pohon.
Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut
tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat
beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan
tambahan aerasi. Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit
matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas
(plumula) dan bakal akar (radikula) (Anwar, 2006).
Perkebunan kelapa sawit di Desa Tirtakencana di provinsi
Jambi adalah salah satu provinsi paling ekspansif mengembangkan perkebunan
kelapa sawit di Sumatera. Pengembangan kelapa sawit memang menjadi bagian
strategi jambi menggerakkan perekonomian derahnya Jambi telah mencanangkan
pengembangan sawit sejuta hektar dengan luas Jambi yang hanya 5,4 juta hektar
berarti hampir 20% wilayah Jambi akan berubah menjadi perkebunan sawit. Namun
dapat dibayangkan bahwa rencana itu selalu dibayang-bayangi oleh resiko yang
cukup pelik. Harus diakui bahwa akan selalu terjadi tekanan lingkungan yang
tinggi dalam pengembangan sawit karena dilakukannya konversi hutan (Andoko,
2008).
Perkebunan Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan yang dapat
menjadi tempat hidup antrhropoda di permukaan tanah baik untuk tempat tinggal,
mencari makan dan berkembang biak. Seperti dari pengamatan telah ditemukan
antrhopoda dipermukaan tanah seperti semut, laba-laba, belalang, ulat buah dan
jangkrik. Kehidupan anthropoda sangat tergantung pada habitatnya, karena
keberadaanya dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah sangat ditentukan
daerah itu dan faktor lingkungan. Dalam ekologi hewan tanah, pengukuran faktor
lingkungan abiotik penting dilakukan karena besarnya pengaruh fkctor abiotik itu
terhadap keberadaan dan kepadatan populasi kelompok hewan tanah. Dengan
dilakukannya pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka dapat diketahui faktor
yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi hewan yang
diteliti (Syarif, 1986).
Arthropoda
permukaan tanah memiliki peranan yang penting dalam ekosistem pertanian,
Arthropoda permukaan tanah berperan dalam jaring makanan yaitu sebagai
herbivor, karnivor, dan detrivor. Selain itu juga dapat merugikan dan
menguntungkan bagi kehidupan manusia. Selain berperan dalam jaring makanan,
Arthropoda permukaan tanah juga berperan dalam proses dekomposisi tanah.
Arthropoda permukaan tanah akan mengahancurkan substansi yang ukurannya lebih
besar menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga proses dekomposisi dapat
dilanjutkan oleh fauna tanah yang lain (Odum, 1993).
Teknik budidaya
pertanian umumnya menurunkan jumlah individu dan deversitas fauna tanah
termasuk Arthropoda permukaan tanah. Selain itu, kegiatan budidaya pertanian
dapat merubah kondisi tanah. Oleh karena itu, penelitian dibutuhkan untuk
memperoleh informasi tentang keanekaragaman dan kemerataan Arthropoda permukaan
tanah sehingga dapat diketahui tingkat kestabilan ekosistem pada lahan
perkebunan sawit dan faktor abiotik yang paling mempengaruhi keanekaragaman
Arthropoda permukaan tanah pada lahan perkebunan sawit (Arief, 2001).
1.2 Tujuan
Tujuan
dari penelitian ini untuk mengetahui dan mengkaji keanekaragaman Arthropoda yang
hidup pada permukaan tanah di perkebunan sawit (Elaeis guineensis), di
Desa Tirtakencana Provinsi Jambi Sumatera Selatan.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun
yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
keanekaragaman Arthropoda yang terdapat pada permukaan tanah di perkebunan
sawit, di Desa Tirtakencana Provinsi
Jambi Sumatera Selatan.
1.4 Batasan Masalah
Penelitian
ini dibatasi pada tanaman Sawit yang berumur ± 8 tahun, dan arthropoda yang
diteliti pada permukaan tanah di
perkebunan sawit (Elaeis guineensis) seluas satu hektar, di Desa Tirtakencana Provinsi Jambi Sumatera Selatan.
1.5 Manfaat
Manfaat
dari penelitian ini yaitu agar dapat memberikan informasi akademik dan tambahan
bagi masyarakat serta wawasan kepada kita semua mengenai keanekaragaman arthropoda
di permukaan tanah perkebunan sawit, di Desa Tirtakencana Provinsi Jambi
Sumatera Selatan.
1.6 Hipotesis
Diduga
terdapat berbagai macam keragaman arthropoda pada permukaan tanah pada
perkebunan kelapa sawit.
BAB II
TINAJUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Arthropoda
Arthropoda adalah filum yang paling besar dalam dunia hewan dan mencakup serangga, laba-laba, udang, lipan dan hewan sejenis lainnya. Arthropoda adalah nama lain hewan berbuku-buku. Arthropoda biasa
ditemukan di laut, air tawar, darat, dan lingkungan udara, termasuk berbagai
bentuk simbiosis dan parasit. Hampir dari 90% dari seluruh jenis hewan yang
diketahui orang adalah Arthropoda. Karakteristik yang membedakan artropoda
dengan filum yang lain yaitu : Tubuh bersegmen, segmen biasanya bersatu
menjadi dua atau tiga daerah yang jelas, anggota tubuh bersegmen berpasangan
(Asal penamaan Arthropoda), simetri bilateral, eksoskeleton berkitin. Secara
berkala mengalir dan diperbaharui sebagai pertumbuhan hewan, kanal alimentari
seperti pipa dengan mulut dan anus, sistem sirkulasi terbuka, hanya pembuluh
darah yang biasanya berwujud sebuah struktur dorsal seperti pipa menuju kanal alimentar
dengan bukaan lateral di daerah abdomen, rongga tubuh; sebuah rongga darah atau
hemosol dan selom tereduksi (Donahue
dkk, 1977).
Arthropoda
memiliki empat kelas, diantaranya yaitu :
1. Kelas Myriapoda.
2. Kelas Crustacea.
3. Kelas Arachnida.
4. Kelas Insecta.
Kelas Arachnoidea dikenal sebagai laba-laba. Arachnoidea
(dalam bahasa yunani, arachno = laba-laba) disebut juga kelompok laba-laba,
meskipun anggotanya bukan laba-laba saja. Kala jengking adalah salah satu
contoh kelas Arachnoidea yang jumlahnya sekitar 32 spesies. Ukuran tubuh
Arachnoidea bervariasi, ada yang panjangnya lebih kecil dari 0,5 mm sampai 9
cm. Arachnoidea merupakan hewan terestrial (darat) yang hidup secara bebas
maupun parasit. Arachnoidea yang hidup bebas bersifat karnivora. Arachnoidea dibedakan
menjadi tiga ordo, yaitu Scorpionida, Arachnida, dan Acarina. Scorpionida
memiliki alat penyengat beracun pada segmen abdomen terakhir, contoh hewan ini
adalah kalajengking (Uroctonus mordax) dan ketunggeng ( Buthus after). Pada
Arachnida, abdomen tidak bersegmen dan memiliki kelenjar beracun pada
kaliseranya (alat sengat), contoh hewan ini adalah Laba-laba serigala (Pardosa
amenata), laba-laba kemlandingan (Nephila maculata). Acarina memiliki tubuh
yang sangat kecil, contohnya adalah caplak atau tungau (Acarina sp.) (Foth, 1998).
Myriapoda (dalam bahasa yunani,
myria = banyak, podos = kaki) merupakan hewan berkaki banyak. Hewan kaki seribu
adalah salah satunya yang terkadang kita lihat di lingkungan sekitar kita. Myriapoda
hidup di darat pada tempat lembap, misalnya di bawah daun, batu, atau tumpukan
kayu. Bagian tubuh Myriapoda sulit dibedakan antara toraks dan abdomen. Tubuhnya
memanjang seperti cacing.
Pada kaput terdapat antena, mulut, dan satu pasang mandibula (rahang bawah), dua pasang maksila (rahang atas), dan mata yang berbentuk oseli (mata tunggal). Tubunya bersegmen dengan satu hingga dua pasang anggota badan pada tiap segmennya. Setiap segmen terdapat lubang respirasi yang disebut spirakel yang menuju ke trakea. Ekskresinya dengan tubula malpighi. Myriapoda bersifat dioseus dan melakukan repsroduksi seksual secara internal. Myriapoda dibedakan menjadi dua ordo, yaitu Chilopoda dan Diplopoda.
Pada kaput terdapat antena, mulut, dan satu pasang mandibula (rahang bawah), dua pasang maksila (rahang atas), dan mata yang berbentuk oseli (mata tunggal). Tubunya bersegmen dengan satu hingga dua pasang anggota badan pada tiap segmennya. Setiap segmen terdapat lubang respirasi yang disebut spirakel yang menuju ke trakea. Ekskresinya dengan tubula malpighi. Myriapoda bersifat dioseus dan melakukan repsroduksi seksual secara internal. Myriapoda dibedakan menjadi dua ordo, yaitu Chilopoda dan Diplopoda.
Kelas Chilopoda dikenal sebagai kelabang. Kelompok
hewan ini dikenal sebagai kelabang.Tubuhnya memanjang dan agak pipih. Pada
kepalanya terdapat antena dan mulut dengan sepasang mandibula dan dua pasang
maksila. Pada tiap segmen tubuhnya terdapat kaki dan sepasang spirakel. Pasangan
pertama kaki termodifikasi menjadi alt beracun. Alat penyengat digunakan unutk
menyengat musuh atau pengganggunya. Sengatannya menimbulkan bengkak dan rasa
sakit. Contoh hewan ini adalah kelabang (scutigera sp.).
Kelas Diplopoda dikenal dengan kaki seribu. Hewan
pada ordo ini dikenal dengan kaki seribu, meskipun jumlah kakinya bukan
berjumlah seribu. Ada yang menyebutkan nama lain seperti keluwing. Tubuhnya
bulat panjang. Mulutnya terdiri dari dua pasang maksila dan bibir bawah. Pada
tiap segmen tubuhnya terdapat dua pasang kaki dan dua pasang spirakel. Diplopoda
tidak memiliki cakar beracun karenanya hewan ini bersifat hebivora atau pemakan
sisa organisme. Gerakkan hewan ini lambat dengan kaki yang bergerak seperti
gelombang. Bila terganggu hewan ini akan menggulungkan tubuhnya dan pura-pura
mati. Contoh hewan ini adalah kaki seribu (lulus sp.).
Crustacea (dalam bahasa latinnya,
crusta = kulit) memiliki kulit yang keras. Udang, lobster, dan kepiting adalah
contoh kelompok ini. Umumnya hewan Crustacea merupakan hewan akuatik, meskipun
ada yang hidup di darat. Crustacea dibedakan menjadi dua subkelas berdasarkan
ukuran tubuhnya, yaitu Entomostraca dan Malacostraca.
Entomostraca adalah crustacea yang
berukuran mikroskopik, hidup sebagai zooplankton atau bentos di perairan, dan
juga ada yang sebagai parasit.Contoh hewan ini adalah Daphnia, Cypris virens,
dan Cyclops sp.
Malacostraca dikenal sebagai lobster. Malacostraca
adalah crustacea yang berukuran lebih besar dari pada entomostraca. Hewan yang
termasuk kelompok ini adalah Udang, lobster, dan kepiting. Berikut akan dibahas
sedikit mengenai urain hewan kelompok satu ini. Udang memiliki ekssoskeleton
yang keras untuk melindungi tubuhnya. Tubuhnya terdiri dari dua bagian, yaitu
kaput dan toraks yang menyatu membentuk sefalotoraks, serta abdomen. Dibagian
sefalotoraks dilindungi oleh eksoskeleton yang keras berupa karapaks. Karapaks
memiliki duri di ujung anterior yang disebut rostrum. Di dekat rostrum terdapar
mata faset ( majemuk) yang bertangkai. Pada kaput sefalotoraks merupakan
penyatuan lima segmen (Donahue dkk,
1977).
Kupu-kupu dikenal sebagai Insecta
(dalam bahasa latin, insecti = serangga). Banyak anggota hewan ini sering kita
jumpai disekitar kita, misalnya kupu-kupu, nyamuk, lalat, lebah, semut, capung,
jangkrik, belalang dan lebah. Ciri khususnya adalah kakinya yang berjumlah enam
buah. Karena itu pula sering juga disebut hexapoda. Insecta dapat hidup di
bergagai habitat, yaitu air tawar, laut dan darat. Hewan ini merupakan
satu-satunya kelompok invertebrata yang dapat terbang.Insecta ada yang hidup
bebas dan ada yang sebagai parasit. Tubuh Insecta dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu kaput, toraks, dan abdomen. Kaput memiliki organ yang berkembang
baik, yaitu adanya sepasang antena, mata majemuk (mata faset), dan mata tunggal
(oseli).Insecta memiliki organ perasa disebut palpus.
2.2 Hewan Tanah dan Faktor
lingkungan
Struktur tanah
menunjukkan kombinasi atau susunan partikel-partikel tanah primer (pasir, debu,
dan liat) sampai pada partikel-partikel sekunder yang disebut juga agregat. Struktur suatu
horizon yang berbeda satu profil tanah merupakan satu ciri penting tanah,
seperti warna tekstur atau komposisi kimia. Struktur mengubah pengaruh tekstur
dengan memperhatikan hubungan kelembaban udara. Bahan organik merupakan sebuah
bahan utama pewarnaan tanah tergantung pada keadaan alaminya, jumlah dan
penyebaran dalam profil tanah tersebut. Bahan organik biasanya tertinggi di
lapisan permukaan tanah di daerah sedang warna permukaan tanahnya agak gelap (Foth, 1998).
Hewan tanah merupakan hewan yang
hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang dalam tanah.
Dengan demikian kehidupan hewan tanah sangat ditentukan oleh faktor fisika
tanah, karena itu dalam mempelajari ekologi hewan tanah faktor fisika kimia
tanah selalu diukur (Muhammad, 2003).
Faktor fisika dan kimia tanah yang
menentukan komposisi dan kerapatan serangga permukaan tanah disuatu tempat
adalam pH, suhu, kelembaban, makanan, cahaya, tektstur tanah dan kadar organik
tanah, sengga terjadi kelimpahan serangga tanah (Odum, 1996).
Pengukuran faktor fisika-kimia tanah
dapat di lakukan langsung di lapangan dan ada pula yang hanya dapat diukur di
laboraturium. Untuk pengukuran faktor fisika-kimia tanah di laboraturium maka
di lakukan pengambilan contoh tanah dan dibawa ke laboraturium (Muhammad, 2003).
Suhu tanah yang merupakan salah satu
contoh faktor fisika tanah mengalami perubahan dari pengembunan secara terus
menerus pada kedalaman yang dangkal di banyak tanah di daerah Alaska yang beku
sampai ke Hawai yang tropis, dimanapun jarang ditemukan suhu tanah dapat
mencapai 1000F (37,80 C) pada hari yang panas sekalipun.
Pada kebanyakan permukaan bumi, suhu tanah harian jarang mengalami perubahan
pada kedalaman 20inchi (51 cm). tapi dibawah kedalaman tersebut suhu tanah akan
mengalami perubahan yang secara lambat menunjukkan pertambahan derajat suhu
sekitar 20F (Donahue dkk,
1977).
Partikel tanah berbeda-beda
ukurannya. Berdasarkan ukurannya maka partikel tanah digolongkan atas fraksi
pasir, debu, dan liat. Tekstur tanah adalah perbandingan antara partikel tanah
yang berupa liat, debu, dan pasir dari suatu massa tanah (Muhammad, 2003).
Tanah
yang mempunyai tekstur halus mempunyai luas permukaan besar dibanding dengan
tanah yang bertekstur kasar. Oleh karena itu, tanah yang demkian ini cepat
melapuk. Beberapa sifat tanah yang lain, seperti kandungan bahan organik, unsur
hara, aerasi dan lain-lain, seperti kandungan bahan organik mempunyai hubungan yang erat dengan tekstur tanah.
Penentuan tekstur tanah di laboratorium
dilakukan dengan cara analisis mekanis. Partikel-partikel tanah diaduk dalam air dan diberi bahan-bahan yang menghilangkan
perekat-perekat dalam tanah. Partikel liat
yang mempunyai luas permukaan relatif besar dalam satu-satuan volume tertentu akan mengendap dalam waktu
yang lama, sedangkan partikel-partikel pasir
lebih cepat mengendap karena luas permukaannya relatif kecil (Buckman dan
Brady, 1982).
Dilapangan
hewan tanah juga dapat dikumpulkan dengan cara memasang perangkap jebak (pit fall-trap).
Pengumpulan hewan permukaan tanah dengan memasang perangkap jebak juga
tergolong pada pengumpulan hewan tanah secara dinamik. Perangkap jebak sangat
sederhana, yang mana hanya berupa bejana yang ditanam di tanah. Agar air hujan
tidak masuk ke dalam perangkap maka perangkap diberi atap dan agar air yang
mengalir di permukaan tanah tidak masuk ke dalam perangkap maka perangkap
dipasang pada tanah yang datar dan agak sedikit tinggi. Jarak antar perangkap
sebaliknya minimal 5 m.
Perangkap
jebak pada prinsipnya ada dua macam, yaitu perangkap penjebak tanpa umpan
penarik, dan perangkap penjebak dengan umpan. Pada perangkap tanpa umpan, hewan
tanah yang berkeliaran di permukaan tanah akan jatuh terjebak, yaitu hewan
tanah yang kebetulan menuju ke perangkap itu, sedangkan perangkap dengan umpan,
hewan yang terperangkap adalah hewan yang tertarik oleh bau umpan yang
diletakkan di dalam perangkap, hewan yang jatuh dalam perangkap akan terawat
oleh formalin atau zat kimia lainnya yang diletakkan dalam perangkap tersebut (Muhammad, 2003).
Menurut
Hole (1981) macam-macam hewan tanah diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Pengelompokkan hewan tanah berdasarkan
kehadiran
· Permanen
yaitu hewan tanah yang seluruh daur hidupnya berada tanah, contohnya cacing
tanah dan collembolan.
· Sementara
yaitu binatang tanah yang salah satu fase hidupnya berada ditanah, sedangkan
fase lainnya tidak atau secara berkala ditanah, contohnya larva serangga.
· Periodik
yaitu binatang-binatang tanah yang sering berpindah-pindah masuk dan keluar
dari tanah, contohnya bentuk-bentuk aktif serangga.
· Mendiami
sementara yaitu fase inaktif (telur, pupa, fase hibernasi) berada di tanah dan
fase aktif berada diatas tanah, contohnya serangga.
· Kebetulan
yaitu binatang yang jatuh atau tertiup angin dari tajuk dan masuk kedalam
tanah, contohnya larva serangga.
2. Pengelompokkan
hewan tanah berdasarkan tempat hidup pada lapisan tanah
· Epigon
yaitu hewan tanah yang hidup pada lapisan tumbuhan-tumbuhan dipermukaan tanah.
· Hemiedafon yaitu
hewan tanah yang hidup pada organik tanah.
· Euedafon
yaitu yang hidup pada lapisan mineral tanah.
3. Pengelompokkan
hewan tanah berdasarkan jenis makanan atau cara makan
· Microphytic feeders merupakan
binatang pemakan tumbuhan mikro, seperti lumut dan spora.
· Saprophytic feeders merupakan
pemakan bahan organik (serasah segar, setengah segar dan bahan organic yang
telah melapuk), contohnya cacing tanah, miliapoda, isopoda, acarina dan
collembolan.
· Phytophagous merupakan
binatang pemakan tumbuhan, contohnya molusca dan larva Lepidoptera dan
jangkrik.
· Carnivore merupakan
kelompok predator (pemakan binatang tanah), contohnya carabidae, staphylinidae,
kalajengking, centipede.
4.
Pengelompokkan hewan tanah berdasarkan
mempengaruhi system tanah
· Binatang eksopedonik
(mempengaruhi dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang
berukuran besar, seperti kelas mamalia, aves, reptilian dan amphibian.
· Binatang endopedonik
(mempengaruhi dari dalam tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang kecil
sampai sedang, seperti kelas hexapoda, myriapoda, arachnida, crustacean,
tardigrada.
2.3 Peranan Tanah
Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat
besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Proses dekomposisi
dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh
kegiatan makrofauna tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan
penting dalam dekomposisi bahan organik
tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan meremah-remah
substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan
dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Secara
umum, keberadaan aneka macam fauna tanah pada tanah yang tidak
terganggu seperti padang rumput, karena siklus hara berlangsung secara
kontinyu. Terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen
pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%-50% (Wallwork,
1976).
Menurut Barnes (1997) Fauna tanah memainkan peranan yang
sangat penting dalam pembusukan zat atau bahan-bahan organik dengan cara :
1. Menghancurkan
jaringan secara fisik dan meningkatkan ketersediaan daerah bagi aktifitas
bakteri dan jamur,
2. Melakukan
pembusukan pada bahan pilihan seperti gula, sellulosa dan sejenis lignin,
3. Merubah
sisa-sisa tumbuhan menjadi humus,
4. Menggabungkan
bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas,
5. Membentuk
kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah.
Meskipun fauna tanah khususnya mesofauna tanah sebagai
penghasil senyawa- senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan
berarti berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi, peranan ini merupakan
nilai tambah dari mesofauna sebagai subsistem konsumen dan
subsistem dekomposisi. Sebagai subsistem
dekomposisi, mesofauna sebagai organisme perombak
awal bahan makanan, serasah, dan bahan
organik lainnya (seperti kayu dan akar) mengkonsumsi bahan-bahan tersebut
dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan
tersebut. Mesofauna tanah akan melumat bahan dan
mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi
fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi oleh mikrobio tanah
(Arief, 2001).
Tarumingkeng (2000), menyebutkan
bahwa dalam suatu habitat hutan hujan
tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis
semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus
energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis
vertebrata. Organisme-organisme yang berkedudukan di dalam tanah sanggup
mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan
atas (top soil), di mana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan
bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat
dibusukkan oleh fungi, bakteria dan golongan- golongan organisme lainnya
(Sutedjo dkk, 1996).
Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu
merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang
lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang
meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka
di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga
suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan. Tanah tersebut
diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah
juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang
mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan
bahan organiknya, bahwa serangga tanah
juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan
penghancur kayu (Wallwork, 1976).
Szujecki (1987) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah
berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2)
kelembaban tanah dan kandungan hara
berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3)
suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi
kegiatannya.
Suhardjono (2000), menyebutkan pada
sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan
pemakan mikoriza akar yang dapat
merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di
samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya
penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan
sebagai indikator terhadap dampak penggunaan
herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada
jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar. Keanekaragaman
fauna tanah pada musim atau tipe
permukaan tanah yang berbeda memiliki perbedaan.
2.4 Klasifikasi
dan Morfologi Kelapa Sawit
2.4.1
Klasifikasi Kelapa Sawit
Klasifikasi ilmiah dari kelapa sawit
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae5
Genus : Elaeis
Spesies
Elaeis
guineensis, Elaeis oleifera
2.4.2 Morfologi
Kelapa Sawit
Morfologi
tanaman kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
1. Bagian
Generatif
Bagian
generatif kelapa sawit meliputi akar, batang, dan daun. Akar kelapa sawit
berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam tanah dan respirasi tanaman.
Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya sangat kuat karena tumbuh ke
bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter.
Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai
kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai penyangga serta
tempat menyimpan dan mengangkut makanan. Daun kelapa sawit membentuk susunan majemuk,
bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun sebagai tempat fotosintesis dan
sebagai alat respirasi. Semakin lama proses fotosintesis berlangsung, semakin
banyak bahan makanan yang dibentuk sehingga produksi meningkat. Luas permukaan
daun juga mempengaruhi proses fotosintesis, semakin luas permukaan daun maka
proses fotosintesis akan semakin baik ( Fauzi, 2004).
2.
Bagian Vegetatif
Bagian
vegetatif kelapa sawit meliputi bunga dan daun. Kelapa sawit merupakan tanaman
berumah satu (monoecious) artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat
dalam satu tanaman dan masing – masing terangkai dalam satu tandan. Proses
penyerbukan tanaman kelapa sawit dapat terjadi dengan bantuan serangga atau
angin. Buah disebut juga fructus, tanaman kelapa sawit dapat
menghasilkan buah siap panen pada umur 3,5 tahun. Buah terbentuk setelah
terjadi penyerbukan dan pembuahan. Waktu yang dibutuhkan mulai dari penyerbukan
sampai buah matang dan siap panen kurang lebih 5 – 6 bulan (Fauzi, 2004).
2.5
Ekologi Kelapa Sawit
Kelapa
sawit termasuk tanaman daerah tropis. Curah hujan optimal yang dikehendaki
antara 2.000 – 2.500 mm per tahun dengan pembagian merata sepanjang tahun. Lama
penyinaran matahari yang optimum antara 5 – 7 jam per hari, dan suhu optimum
berkisar 22º - 32ºC. Ketinggian di atas permukaan laut yang optimum berkisar 0
– 500 meter.
Kelapa
sawit menghendaki tanah yang subur, gembur, memiliki solum yang tebal, tanpa
lapisan padas, datar dan drainasenya baik. Keasaman tanah (pH) sangat
menentukan ketersediaan dan keseimbangan unsur – unsur hara dalam tanah. Kelapa
sawit dapat tumbuh pada pH 4 – 6,5 sedangkan pH optimum berkisar 5 – 5,5.
Permukaan air tanah dan pH sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara yang
dapat diserap oleh air (Risza, 1994).
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian
ini dilakukan pada bulan Juli 2012. Lokasi penelitian dilakukan di perkebunan
Sawit, Provinsi Jambi Sumatera selatan. Identifikasi hewan dari hasil
penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Universitas Biologi Fakultas
MIPA PGRI Palembang.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun
alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, aqua plastic,
cengkuit label, kaca objek, kayu, kawat, paku, kotak sampel, mikroskop dan
seng. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu alcohol 70 % dan formalin 4 %.
33. Metode Kerja
Metode
penelitian ini menggunakan pendekatan observasi dengan pengamatan langsung
dilapangan. Sampel arthropoda dipermukaan tanah diambil dengan menggunakan
metode perangkap jebak (Pitfall-trap),
teknik pengambilan sampel secara Porposive
sampling diperkebunan Sawit yang berumur ± 8 tahun seluas 1 hektar dengan
jumlah tanaman ± 800 pohon sawit. Sebanyak 25 perangkap jebak disebarkan secara
acak dengan jarak 5 meter.
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Di Lapangan
Adapun
cara kerja pada penelitian ini antara lain :
1. Disiapkan
alat dan bahan yanag akan digunakan.
2. Ditanam
perangkap yang sudah dibuat dari aqua plastik sedalam 12 cm.
3. Dibuat
penyanggah dan ditutup dengan seng untuk menghindari hujan dan organism lain.
4. Dimasukkan
alcohol 70 % dan formalin 4 % atau sebanyak 3 tetes.
5. Dibiarkan
perangkap yang ditanam pada jam 6 pagi selama 3 x 24 jam dengan tujuan agar
hewan pada permukaan tanah yang beraktivitas pada siang hari dan malam hari
bisa masuk dalam perangkap.
6. Setelah
hewan-hewan yang masuk kedalam perangkap diambil dan dimasukkan dalam kotak
sampel yang diisi alcohol dan formalin.
7. Diamati
di laboratorium.
3.4.2 Di Laboratorium
Adapun
cara kerja penelitian ini antara lain :
1.
Di identifikasi hewan-hewan yang didapat
dari Lapangan di laboratorium menggunakan buku acuan Bolton (1994) dan Wilson
(1990).
2.
Dikeringkan hewan-hewan dari tiap
spesies yang didapat dan ditempel dikertas karton yang telah ditusuk jarum,
kemudian dimasukkan kedalam kotak spesimen.
3.
Difoto sebagai dokumentasi.
3.5 Analisis Data
Analisis data arthropoda bagian
permukaan tanah diperkebunan Sawit desa Tirtakencana yaitu dengan menghitung
Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), adalah sebagai
berikut :
a.
Kepadatan (K)
K
=
b.
Kepadatan Relatif
KR
=
x 100 %
c.
Frekuensi Relatif
FR
=
x 100 %
Data untuk melihat anthropoda di
permukaan tanah pada perkebunan sawit, keanekaragaman arthropoda dipermukaan
tanah dianalisis dengan indeks Shanon – weanor dengan rumus :
Indeks menurut Shanon-Weanor
H
=
Pi
In Pi
Keterangan :
S
= Jumlah spesies
Pi = Jumlah individu suatu spesies
perjumlahan individu seluruh spesies
H
= Indeks diversitas
DAFTAR PUSTAKA
Andoko. 2008. Budidaya Sawit. PT Agro Media Pustaka. Jakarta.
Anwar, Chairil. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Sawit. Pusat penelitian. Medan.
Barnes . 1997. Hewan Tanah Dan Peranannya. Online. http://rahmatkusnadi6.blogspot.com/2010/09/faktor-yang-mempengaruhi-kehidupan.html.
Diakses 27 Mei 2012.
Fauzi. 2004. Morfologi Kelapa Sawit. Online. http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit.
Diakses 27 Mei 2012. Arthopoda.
Online. http://id.wikipedia.org/wiki/Artropoda. Diakses 7 mei 2012.
Foth. 1998. Dasar-Dasar Ilmu
Tanah. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Ketaren.
1986. Hewan Tanah. Online. http://desainwebsite.net/berita/hewan-tanah#ixzz1vfR80B5G. Diakses 27 Mei
2012.
Muhammad,
NS.,. 2003. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.
Risza. 1994. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.
Odum,
E. P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Terjemahan oleh T. Samingan.
Yogyakarta : Gadjah Mada Press.