Sabtu, 29 Juni 2013

Proposal Penelitian

STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DI SUNGAI PANGI  DAN RAWA LEBAK MENGGUNAKAN ALAT TANGKAT YANG BERBEDA DI KECAMATAN RANTAU BAYUR KABUPATEEN BANYUASIN SUMSEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Provinsi Sumatera Selatan mempunyai luas perairan umum sebesar 2,5 juta hektar. Bagian utama perairan umum Sumatera Selatan adalah Sungai Musi dengan sumber air berasal dari pegunungan Bukit Barisan dan Danau Ranau yang kemudian mengalir kearah timur melewati Kota Palembang, selanjutnya bermuara di Selat Bangka. Daerah Aliran Sungai (DAS), Sungai Musi mencakup luasan 60.000 km², membentuk sejumlah anak sungai yang besar meliputi Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Batanghari Leko, Sungai Rawas, Sungai Lakitan, dan Sungai Kelingi beserta ratusan anak sungai lainnya (Gaffar, 2003).
Selain itu, Sumatera Selatan juga merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan rawa yang luas. Wilayah Kabupaten Banyuasin memiliki wilayah perairan umum dengan potensi sumber daya ikan yang prospektif. Daerah ini kaya akan hasil ikan dan memiliki tipe perairan yang banyak, luas di kabupaten Banyuasin sekitar 60% wilayahnya berupa rawa, payau, lebak dan sungai yang berpotensi besar sebagai produsen ikan air tawar.
Menurut Poerwardaminto (1976), rawa lebak adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat draenase yang terhambat serta merupakan lahan rendah yang memiliki kepekaan tergenang air yang berasal dari curah hujan atau luapan banjir sungai. Rawa lebak merupakan sebutan untuk rawa yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk mengembangkan pertanian, perikanan dan peternakan.  Ekosistem rawa lebak yang umumnya berair asam dan dengan kandungan oksigen yang rendah ini hanya dapat di diami oleh organisme yang tahan terhadap keasaman tinggi saja. Rawa lebak biasanya mempunyai lahan genangan air hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan 50 cm.
Sungai adalah perairan mengalir yang sumber airnya berasal dari air hujan atau air tanah dan mempunyai karakteristik yang ditentukan dari geologi, tofografi, jenis tanah dan batas air dengan dataran serta merupakan tempat terjadinya erosi, transportasi, dan deposit dari material bumi yang terlarut dan tersuspensi yang pada akhirnya bermuara di laut atau perairan terbuka lainnya (Makmur, 2001).
Menurut Lagler (1962) ikan merupakan vertebrata air karena telah memiliki tulang belakang dan dimasukkan ke dalam filum Chordata.  Ikan juga didefenisikan  sebagai hewan  vertebrata  yang  berdarah  dingin,  hidup dalam lingkungan air, pergerakan dan keseimbangan badannya menggunakan sirip dan  bernafas  dengan  insang. Secara garis besar ikan terbagi atas 3 kelas yaitu Agnatha (Ikan yang tidak  memiliki rahang), Chondrichthyes (ikan bertulang rawan), dan Osteichthyes (ikan bertulang keras). Osteichthyes  merupakan  kelas dari vertebrata  yang paling kaya akan  jumlah spesies.
Ikan sebagai hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungannya, misalnya sebagai hewan yang hidup di air, baik itu diperairan tawar maupun perairan laut menyebabkan ikan harus dapat mengetahui kekuatan maupun arah arus, karena ikan dilengkapi dengan organ yang disebut linea lateralis (Fujaya, 2004).
Penelitian tentang struktur komunitas dan komposisi jenis ikan, di perairan Sungai Pangi dan rawa lebak Perasinan menggunakan alat tangkap yang berbeda, dengan tujuan untuk mengetahui spesies ikan yang dominan dari beberapa jenis ikan yang memiliki nilai struktur komunitas ikan yang cukup besar antara perairan sungai dan perairan rawa. Namun apabila pencemaran air terjadi dapat mengubah struktur komunitas ikan secara langsung, yang memungkinkan terjadi perubahan kualitas perairan dan juga dilakukannya penangkapan ikan secara terus-menerus. Karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui keragaman jenis-jenis ikan yang terdapat di Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.

1.2.    Rumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana struktur komunitas dan keragaman jenis ikan di sungai pangi dan rawa lebak perasinan menggunakan alat yang berbeda di Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan?

1.3.   Batasan Masalah
Pengamatan dalam penelitian ini dibatasi dengan alat tangkap yang berbeda antara Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Dilanjutkan perhitungan individu masing-masing untuk mengetahui hubungan panjang berat, indeks kelimpahan, dan kelimpahan relatif.


1.4.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas dan komposisi jenis ikan menggunakan alat tangkap yang berbeda di Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten  Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.

1.5.    Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan infomasi tentang struktur komunitas dan komposisi jenis ikan menggunakan alat tangkap yang berbeda di Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Perairan Umum
2.1.1. Sungai
Sungai adalah perairan mengalir yang sumber airnya berasal dari air hujan atau air tanah dan mempunyai karakteristik yang ditentukan dari geologi, tofografi, jenis tanah dan batas air dengan dataran serta merupakan tempat terjadinya erosi, transportasi, dan deposit dari material bumi yang terlarut dan tersuspensi yang pada akhirnya bermuara di laut atau perairan terbuka lainnya (Makmur, 2001).
Menurut Odum (1971), Sungai merupakan salah satu contoh dari perairan mengalir. Sungai dicirikan dengan adanya arus yang searah serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Pada perairan sungai biasanya terjadi pencampuran massa air secara menyeluruh. Pembagian zona sungai terdiri dari dua bagian, yaitu berdasarkan gradien dan aliran air. Sungai yang berdasarkan gradien antara lain daerah hulu dengan ciri daerah yang sempit dan berjenjang, terdapat pada dataran tinggi, kepadatan organisme yang rendah dan substrat dasar berupa bebatuan, dan daerah hilir dengan ciri daerah yang lebar, pada dataran rendah, arus relatif lambat, kadar oksigen rendah, dan substrat dasar berupa lumpur, pasir, dan kerikil.
            Sungai sebagai habitat perikanan akan mengalami perubahan sebagai hasil interaksi proses alami dan aktivitas manusia terutama dalam penggunaan tata guna tanah dan air. Pengembangan dan perbaikan kegiatan perikanan sangat tergantung dari pengetahuan secara menyeluruh tentang keadaan populasi ikan dan reaksinya terhadap lingkungan (Linfield,1985 dalam Gaffar dan Utomo,1991).
Sungai Pangi merupakan anak Sungai Musi yang menjadi daerah penangkapan ikan yang sumber mata pencaharian sebagai nelayan, karena sebagian besar masyarakat Kecamatan Rantau Bayur pemukiman rumahnya berdekatan dengan sungai. Sungai ini merupakan Sungai Musi namun penduduk sekitar sering  menyebutnya dengan Sungai Pangi. Sungai ini juga merupakan jalur transportasi dari desa ke desa, bahkan ke Kota Palembang. Pencarian ikan yang dilakukan oleh penduduk, karena kebanyakan tempat tinggal atau pemukiman masyarakat yang berada di pinggiran sungai seperti Desa Tebing Abang serta Desa Lubuk Rengas. Penangkapan ikan di anak sungai ini dilakukan dengan menggunakan jala, rawai, jaring, bubu, tangkul dan pancing. Lebar Sungai mencapai 300-400 m. Sedangkan panjang Sungai Pangi mencapai 7 Km. Sungai Pangi memiliki spesies ikan yang masih ditemui antara lain : Ikan Baung, Lais, Lampam, Gabus, Tapa, Sapil, Sepat Laut, Lambak, Juaro, Patin dan banyak lagi lainnya.

2.1.2. Rawa
Rawa merupakan istilah yang digunakan untuk semua lahan basah yang senantiasa memiliki kepekaan tergenang air, baik pada kurun waktu tertentu maupun sepanjang tahun, bervegetasi, baik yang berair tawar, asin maupun payau, berhutan maupun ditumbuhi tanaman semak. Berdasarkan sumber airnya, ekosistem rawa di Indonesia dapat dibedakan menjadi rawa pasang surut dan rawa non pasang surut. Rawa pasang surut meliputi rawa-rawa pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan rawa non pasang surut meliputi rawa-rawa pedalaman yang tidak dipengaruhi pasang surut air laut. Berdasarkan vegetasinya, rawa dapat dibedakan menjadi rawa berhutan dan rawa tak berhutan, atau bahkan berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, misalnya rawa bakau, rawa nipah dan rawa rumput (Kordi, 2008).
Kata lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang berarti lembah atau tanah rendah (Poerwadarminto, 1976). Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan jika kedudukannya menjorok jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa pedalaman.
Menurut Noor (2007), lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua buah sungai besar di dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya dipengaruhi pasang surut air laut harian, lebak tergenang selama musim hujan dan berangsurangsur kering pada musim kemarau. Ada tiga jenis lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, yaitu wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25 - 50 cm dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun; lebak tengahan, yaitu wilayah yang tinggi genangannya antara 50-100 cm  dengan lama genangan selama 3-6 bulan dalam setahun; dan lebak dalam, yaitu mempunyai tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm dengan lama genangan selama lebih dari 6 bulan. Kawasan lebak dalam yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah Lebak Lebung.
Rawa lebak termasuk wilayah yang selalu basah atau tergenang. Berbagai kesulitan ditemukan dalam memberikan batasan rawa lebak atau lebih luas dalam konteks lahan basah karena keragaman lingkungannya yang luas dan saling berbeda antara ekologi maupun pemanfaatannya. Pembagian atau klasifikasi rawa lebak atau lahan basah akhirnya sangat tergantung pada kepentingan apakah untuk tujuan ekologi atau komersil dalam arti pengelolaan sumber daya alam. Tujuan ekologi cenderung untuk menetapkan berdasarkan kondisi alami dan perlu dipertahankan, tetapi para pengembang menginginkan bahwa potensi sumber daya alam ini perlu dieksploitasi sehingga memberikan nilai tambah (secara ekonomi). Klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam arti luas dapat didasarkan pada ketinggian genangan, waktu genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah dan jenis pemanfaatan. Perikanan di lahan rawa lebak ini umumnya masih dilakukan dengan sistem tangkap dengan menggunakan alat tangkap sederhana seperti kail, lunta/jala, ancau dan sistem perangkap seperti beje. Upaya pemeliharaan sistem keramba atau kolam juga mempunyai prospek karena keuntungan yang diperoleh cukup tinggi, khususnya jenis-jenis ikan hitam seperti toman, gabus, dan papuyu (Noor, 2007).
Perairan rawa lebak perasinan merupakan rawa lebak yang terdapat di Kabupaten Banyuasin  yang memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi. Lahan rawa lebak ini sering dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk menunjang kehidupan. Pada musim hujan genangan air mencapai 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Rawa Lebak Perasinan merupakan salah satu daerah perairan di Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin  Provinsi Sumatera Selatan.
2.2. Biologi Ikan
Pisces adalah sebutan umum yang dipakai  untuk ikan atau sebagai nama kelas. Bermacam-macam spesies  hidup dalam air tawar atau  bergaram (air laut). Pengenalan struktur ikan tidak terlepas dari morfologi ikan yaitu bentuk luar ikan yang merupakan ciri-ciri yang mudah dilihat dan diingat  dalam mempelajari jenis-jenis ikan. Morfologi ikan sangat berhubungan dengan habitat ikan tersebut di perairan (Gumono, 2001).
Secara umum tubuh ikan terbagi atas 3 bagian yang utama, yaitu kepala (caput), badan (truncus), dan ekor (caudal). Bagian-bagian  tubuh  ikan  dilihat dari pengenalan struktur ikan tidak terlepas dari morfologi ikan yaitu bentuk luar ikan. Sirip-sirip  pada ikan umumnya ada  yang berpasangan dan ada yang tidak. Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur disebut sirip tunggal atau sirip tidak berpasangan. Macam-macam sirip ekor dapat dibedakan berdasarkan  bentuk sirip tersebut. Bentuk sirip ekor ikan ada yang simetris, apabila lembar sirip ekor bagian dorsal sama besar dan  sama bentuk dengan lembar  bagian ventral, ada pula bentuk sirip ekor yang asimetris yaitu bentuk kebalikannya                             (Kottelat et al.,1993).    
Setiap ikan untuk dapat hidup dengan baik dan mampu berkembang biak harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya. Dalam hal adaptasi ini, ikan memiliki banyak cara untuk dapat mempertahankan diri serta mendapatkan makanan. Bentuk tubuh serta alat-alat tubuh untuk setiap jenis ikan berbeda. Hal ini disesuaikan dengan cara hidup ikan tersebut didalam lingkungannya. Penyesuaian diri tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan makanan dan menyelamatkan diri dari hewan-hewan predator, serta menyesuaikan diri dengan kondisi perairannya, seperti kadar garam, kecerahan, kedalaman, suhu, intensitas cahaya, kondisi cuaca, arus, dan struktur tanah (Subani, 1968).
Selain sirip, bagian anggota badan yang lain adalah sisik.  Bentuk, ukuran dan jumlah sisik ikan dapat memberikan gambaran bagaimana kehidupan ikan tersebut. Sisik  ikan mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka macam, yaitu sisik ganoid merupakan sisik besar dan kasar, sisik cycloid dan ctenoid merupakan sisik yang kecil, tipis atau ringan dan sisik placoid merupakan sisik yang lembut. Umumnya tipe ikan perenang cepat atau secara terus menerus bergerak pada perairan berarus deras mempunyai tipe sisik yang lembut, sedangkan ikan-ikan yang hidup di perairan yang tenang dan tidak berenang secara terus menerus pada kecepatan tinggi umumnya mempunyai tipe sisik yang kasar. Sisik sycloid berbentuk bulat, pinggiran sisik halus dan rata sementara sisik ctenoid mempunyai bentuk seperti cycloid tetapi mempunyai pinggiran yang kasar (Kottelat et al., 1993).

2.3. Hubungan Panjang Berat
Dalam biologi perikanan, hubungan panjang-berat ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan-ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul & Hongskul dalam Merta, 1993). Pengukuran panjang–berat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang–berat juga dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu (Everhart & Youngs, 1981).
Menurut Effendie (1995), Hubungan panjang berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hal ini disertai dengan anggapan bahwa bentuk dan berat ikan tersebut tetap selama hidupnya. Namun pada kenyataannya hubungan yang terdapat pada ikan tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakukan analisis hubungan panjang berat ikan tersebut. Hubungan ini juga dapat menerangkan pertumbuhan ikan, dan perubahan lingkungan. Selanjutnya dapat diketahui bentuk tubuh ikan tersebut gemuk atau kurus.
Hubungan panjang berat sangat penting untuk pendugaan perikanan. Pengukuran panjang berat berhubungan dengan data umur untuk memberikan informasi tentang komposisi stok, umur matang, gonad, mortalitas, siklus hidup, pertumbuhan dan reproduksi (Fafioye & Oluajo, 2005).
Pengukuran panjang berat ikan di dalam penelitian biologi perikanan hendaknya mengikuti suatu ketentuan yang lazim digunakan. Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem metrik atau sistem lainnya, tetapi sistem metrik sangat dianjurkan untuk dipakainya karena Indonesia sudah biasa mengenal sistem itu juga, negara-negara yang dahulunya menggunakan sistem Inggris atau sistem lainnya sejak beberapa tahun yang lalu mereka sudah mulai menggunakan sistem metrik (Effendie, 1979).


2.4. Komposisi Spesies
Menurut Brower et al. (1990) dalam Latuconsina et al. (2012),  Keanekaragaman jenis adalah suatu ekspresi dari struktur komunitas, dimana suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis tinggi, jika proporsi antar jenis secara keseluruhan sama banyak atau hampir sama banyak. Sehingga jika ada beberapa jenis dalam komunitas yang memiliki dominansi yang besar maka keanekaragamannya dan keseragamannya rendah. Ukurannya pada nilai indeks keanekaragaman (H), indeks keseragaman (E) dan indeks dominasi (C). Indeks keanekaragaman adalah ukuran kekayaan spesies dilihat dari jumlah spesies dalam suatu komunitas dan kelimpahan relatif (jumlah individu tiap spesies).
Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam suatu komunitas itu sangat tinggi. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan (Indriyanto, 2006).
Indeks keseragaman adalah ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Semakin merata penyebaran individu/proporsi antar spesies, maka keseimbangan komunitas akan makin meningkat. Menurur Odum (1983) dalam Latuconsina (2012),  Indeks keanekaragaman adalah nilai yang dapat menunjukkan keseimbangan keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu tiap spesies. Sedikit atau banyaknya keanekaragaman spesies ikan dapat dilihat dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Indeks keanekaragaman mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal dari spesies yang berbeda-beda. Sedangkan nilai terkecil didapat jika semua individu berasal dari satu spesies saja.
Menurut Goldman (1983), struktur komunitas mempunyai lima karateristik yaitu keanekaragaman, dominansi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif, dan struktur trofik. Beberapa populasi spesies yang cenderung untuk hidup bersama di berbagai daerah geografis membentuk suatu komunitas ekologi. Spesies yang jumlahnya berlimpah tersebut disebut dominan dan biasanya dipakai sebagai ciri khas suatu komunitas (Nybakken, 1988). Hilangnya spesies-spesies yang dominan akan menimbulkan perubahan-perubahan penting yang tidak hanya pada komunitas biotiknya sendiri tetapi juga dalam lingkungan fisiknya (Odum, 1971).

2.5. Parameter Kualitas air
Pengukuran kualitas perairan dilakukan bersamaan dengan penangkapan ikan. Parameter yang diukur pada kualitas perairan Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan  yaitu suhu dan derajat keasaman (pH). Menurut Suin (2002) dalam Silalahi (2009), faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dibagi atas faktor iklim, faktor fisika dan faktor kimia. Faktor fisika di air antara lain adalah temperature, cahaya, kecerahan, arus dan suhu. Faktor kimia di air antara lain kadar oksigen terlarut, pH, alkalinitas, kesadahan, BOD, COD, unsur-unsur dan zat organik terlarut, sedangkan faktor lingkungan biotik bagi organisme adalah organisme lain yang juga terdapat dihabitatnya. Nybakken (1988), menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan penyebaran organisme. pH juga sangat berperan penting bagi parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air.
Menurut Allan (1995), suhu air sungai dipengaruhi oleh variasi musim, iklim, elevasi dan vegetasi di sepanjang aliran sungai dan masukan air tanah. Fluktuasi suhu air sungai kecil lebih tinggi dibandingkan sungai besar. Suhu air sungai kecil pada siang hari lebih tinggi ± 15°C dibandingkan malam hari ± 5°C. Hal ini dipengaruhi absorbsi sinar matahari, kecepatan arus, kedalaman air dan kemiringan tempat. Perubahan suhu akan mempengaruhi distribusi, metabolisme, nafsu makan, reproduksi organisme perairan serta berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesis fitoplankton, ikan dan tanaman air. Tingkah laku suatu organisme perairan, struktur dan komposisi komunitas air sungai ditentukan oleh suhu.
Menurut Kordi (2008) bahwa kisaran suhu optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis adalah antara 28C - 32C. Dimana suhu perairan mempengaruhi aktivitas metabolisme ikan dan sangat berkaitan erat dengan oksigen terlarut dan konsumsi oksigen oleh ikan. pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan yang asam akan kurang produktif karena kandungan oksigen terlarutnya rendah, yang berakibat aktivitas pernafasan ikan meningkat dan nafsu makan menurun.
pH adalah tingkatan yang menunjukkan asam/basanya suatu larutan yang diukur pada skala 00 sampai dengan 14. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH 7 - 8,5. Nilai pH sangat memperanguhi nilai proses biokimia perairan misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah.. Sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah (Haslam 1995 dalam Effendi 2003).
Bebarapa parameter kualitas air yang dapat menjadi faktor pembatas bagi ikan  diperairan rawa antara lain suhu, oksigen terlarut dan keasaman.  Rawa pada umumnya dikarakteristikkan dengan melimpahnya pertumbuhan vegetasi air dan diasosiasikan dengan perombakan material organik. Dekomposisi ini mengakibatkan kondisi oksigen yang rendah dan bersifat asam. Pada ekosistem perairan, oksigen terlarut merupakan faktor pembatas terpenting bagi organisme (Bayly & Williams, 1981).
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari. Sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran, serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga mempengaruhi aktivitas metabolis organisme. Oleh karena itu, penyebaran organisme baik rawa,  dilautan maupun perairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Dengan kata lain suhu berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air. Kebutuhan ikan terhadap oksigen akan meningkat dengan meningkatnya suhu perairan. Toleransi ikan terhadap kadar oksigen terlarut minimum tergantung pada jenis ikan, ukuran, kondisi fisiologi dan konsentrasi zat lain yang terlarut (Kordi, 2009).
Kualitas air dikawasan rawa lebak dipengaruhi oleh sifat internal dan eksternal. Sifat internal yang mempengaruhi antara lain, (1) karakteristik hidrologi, (2) sumber daya hayati (gulma dan tumbuhan air lainnya), (3) sifat kimia serta kesuburan tanahnya. Sifat eksternal yang mempengaruhi antara lain, (1) lingkungan fisik dibagian hulu dan setempat, dan (2) kegiatan manusia dalam pemanfaatan dan pengelolaanya. Perubahan musim sering diikuti perubahan kualitas air yang dapat mematikan sebagian ikan diperairan rawa yang terjadi menjelang musim hujan. Kekeruhan juga memberikan pengaruh secara signifikan terhadap produksi terutama ikan dan biota air (Noor, 2007).
Menurut Effendie (2003) dalam Silalahi (2009), Derajat keasaman (pH) merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen  dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebebasan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatan kondisi perairan bersifat basa.
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion Hidrogen dalam suatu larutan. Dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan H- berada dalam keseimbangan sehingga air yang bersih akan bereaksi netral. Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dengan basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organism akuatik umumnya berkisar antara 7 – 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik (Barus, 1996).





BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1.  Waktu Dan Tempat
Penelitian ini  dilaksanakan pada bulan Mei 2013, berlokasi di perairan Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, dan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam  Universitas PGRI Palembang.

3.2.  Alat Dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pancing, tangkul, jala, jaring, bubu,  rawai, dan perahu yang dipakai nelayan untuk menangkap ikan, cool box sebagai tempat penyimpanan sampel, alat tulis/data sheet, ember, mistar, bak farafin, lup, camera, masker, dissetting set, jangka sorong, timbangan digital dan kunci identifikasi ikan menurut Kottelat et al. (1993).  Sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah ikan dan larutan formalin 10%.

 3.3.  Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel dilakukan dengan :
a)      Mengikuti nelayan yang sedang menangkap ikan di sepanjang aliran Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan.
b)      Membeli ikan dari hasil tangkapan nelayan

3.4.  Cara Kerja
Tahapan pengambilan sampel adalah sebagai berikut :
1.      Pengambilan ikan dilakukan dengan mengikuti nelayan yang sedang menangkap ikan atau membeli ikan dari hasil tangkapan nelayan pada perairan Sungai Pangi dan Rawa Lebak Perasinan.
2.      Parameter fisika dan kimia air diamati pada waktu yang bersamaan  pengambilan sample ikan yang meliputi suhu dan pH. Derajat keasaman air diukur dengan menggunakan pH meter portable. Suhu air diukur dengan menggunakan thermometer digital.
3.      Sampel ikan yang ditangkap diukur panjang total menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm dan berat ikan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gr  masing-masing jenis ikan dari alat tangkap yang berbeda.
4.       Diambil 5 (lima) jenis ikan yang dominan tertangkap dari masing-masing alat tangkap berbeda minimal 5-10 ekor dari tiap jenis ikan dan dicatat nama lokalnya.
5.      Pengambilan sampel ikan dilakukan tiga kali dalam satu minggu.
6.      Sebelum sampel diidentifikasi, sampel difoto, dan kemudian dimasukkan kedalam cool box yang telah di isi larutan formalin 10 %.
7.      Sampel ikan dibawa ke laboratorium untuk diamati dan diidentifikasi di Laboratorium dengan menggunakan kunci determinasi. Ikan-ikan yang diperoleh selama pengamatan diidentifikasi berdasarkan morfologi, yaitu diukur panjang total,  panjang standar, tinggi badan, tinggi batang caudal, panjang batang caudal, panjang dari mulut ke pangkal sirip dorsal, panjang dasar sirip dorsal, panjang dasar sirip anal, tinggi sirip dorsal, tinggi sirip anal, panjang sirip pectoral, panjang sirip ventral, panjang duri sirip dorsal yang paling panjang, panjang kepala, lebar kepala, jarak dari lubang hidung ke mulut, jarak dari sudut bibir ke mata, diameter mata, panjang rahang atas, lebar bukaan mulut, panjang sirip lemak, jumlah sirip dorsal yang keras, jumlah sirip dorsal yang lemah, jumlah sirip anal yang keras, jumlah sirip anal yang lemah, jumlah sirip pectoral, jumlah sirip ventral, jumlah sisik pada linea lateralis, jumlah sisik dari sirip dorsal sampai linea lateralis, jumlah sisik dari sirip anal sampai linea lateralis, jumlah sisik sebelum sirip dorsal, jumlah sisik pada batang caudal.
8.      Setelah dilakukan pengukuran morfometrik dan meristik, kemudian dilakukan pada tahap selanjutnya yaitu identifikasi ikan menggunakan buku panduan identifikasi menurut Kottelat et. al (1993).
9.      Setelah didapatkan hasil identifikasi ikan tersebut, dicatat sehingga akan diketahui nama lain atau spesies dari ikan tersebut.    
3.5. Analisis Data
1. Hubungan Panjang Berat

            Hubungan panjang berat dihitung dengan menggunakan persamaan Rhiker dalam Fafioye dan Oluajo (2005):
W= aLb
Keterangan :
W        : Berat ikan (g)
L          : Panjang total ikan (cm)
a dan b : Konstanta
Nilai a dan b adalah konstanta yang dihitung dari transformasi data kedalam persamaan regresi linier dengan menarik logaritma seperti :
Ln W = Ln a + b Ln L
Nilai b diharapkan = 3 (sparred an vinerma, 1999). Jika nilai b = 3 maka dilanjutkan dengan uji t. Apabila b = maka pertumbuhan bersifat simetrik dan apabila b = 3 maka pertumbuhan bersifat alometrik (Effendie, 1975).
2.    Kelimpahan Relatif
Komposisi jenis ikan dilihat dari hasil identifikasi menurut Kottelat et al., yaitu menentukan jenis ikan apa saja yang ditangkap diperairan tersebut sedangkan kelimpahan relatif dihitung sebagai berikut :
B =  x 100%
Keeterangan :
B = kelimpahan relatif ikan yang tertangkap
ni = jumlah total individu spesies-i
N = jumlah total individu semua spesies yang tertangkap
DAFTAR PUSTAKA
Allan, JD. 1995. Stream Ecology: Structure and Function of Running Waters. Chapman and Hall. London. Hal. 12-281.

Barus. T.A. 2001.Pengantar Limnologi Studi tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Program Studi USU FMIPA. Medan. Hlm 5-8.

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanius. Yogyakarta.

Effendie. 1995.  Biologi perikanan.Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.

EVERHART, W.H and W.D. YOUNGS 1981. Principles of fishery science. 2ndEdition Comstock Publishing Associates, a division of Cornell University Press. Ithaca and London : 349 pp.

Fafioye & Oluajo. 2005. Length-wight Relationships of five fish species in Epe lagoon. Nigeria. African Journal of Biotechnology Vol 4 (7) : 749-751.

Fujaya. 2004. Fisiologi ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Gaffar,A.K. 2003.Pelestarian dan Pengembangan Perikanan Perairan Umum Sumatera Selatan . Makalah disampaikan dalam Seminar Kelautan dan Prospek Perairan Umum Sumatera Selatan tanggal 17 September 2003,Palembang.

Gomono. 2001. Biologi. Pabelan. Surakarta.

 

Goldman, C. R. and A. J. Horne. 1983. Limnology. Me Graw Hill Book Company. New York.464p.


Indrianto. 2006. Ekologi Hutan Rawa. Buku Kesatu. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Poerwadarminto, W.J.S. !976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

Kordi. K. 2008. Budi Daya Perikanan. Buku Kesatu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Kordi. K. 2009. Budi Daya Perikanan. Buku Kedua. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Kottelat, M,A.J.Wittern, S.N.Kartika Sari,S.Wirjoatmodjo. 1993. Fresh Water Fishes Of Indonesiia and Sulawesi. Periplus Plus ed Limited. Indonesia.

Lagler,K.F,J.E.Bardah dan R.R.Mild. 1962. Ichthyology. John Wiley and Sons, Inc. Neew york.

Makmur, S. 2004. Tinjauan Beberapa Jenis Ikan Bernilai Ekonomis di Sungai Musi Sumatera Selatan. Kumpulan Publikasi Ilmiah 2004. Balai Riset Perikanan Perairan Umum Mariana. Palembang.

Merta, I.G.S. 1993. Hubungan panjang – berat dan faktor kondisi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perairan Laut, 73 : 35 - 44.

 

Noor. 2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Edisi Pertama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

 

Nybakken, J. N. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesoebiono dan D. G. Bengen. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. 459 hal.

 

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Thirth Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia and London. 546 p.


Silalahi. 2009. Ananlisis Kualitas Air dan Hubungannya deengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di Perairan Balige Danau Toba. Tesis (sudah terpublikasi). Medan. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Subani,W. 1978. Alatdan Cara Tangkap Ikan di Indonesia. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta.